RSS
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

INSPIRING ARTICLE: MARI KITA MEWARISKAN KEBAIKAN

Hari ini saya membaca sebuah artikel. Saya ingin menyimpan artikel itu di blog saya. Siapa tahu ketika Anda mampir, sengaja ataupun tidak, Anda bisa merenungkan paparan kalimat demi kalimat yang ada dalam artikel tersebut seperti yang juga sudah saya lakukan. Artikel ini saya copy paste dari situs favorit saya yang baru (www.republika.co.id).

MARI KITA MEWARISKAN KEBAIKAN

Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, manusia harus menjalankan tugas dan amanat kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Hidup tak boleh dimaknai hanya sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi juga amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.

Manusia harus bekerja keras agar mampu mewariskan kebaikan yang besar (leaving a legacy) bagi umat manusia. Kalau bisa, itu lebih besar ketimbang usia yang diberikan Tuhan kepadanya. Dalam memaknai pekerjaan yang dilakukan, manusia memiliki pemahaman yang beragam dan berbeda-beda. Sekurang-kurangnya, ada empat tingkatan dalam soal ini.

Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Ia memaknai pekerjaannya sekadar mencari sesuap nasi. Motif utama pekerjaannya adalah fisik-material. Ini merupakan fenomena kebanyakan orang ('ammat al-nas).

Kedua, orang yang bekerja untuk memperkaya perkawanan (to love). Ia memaknai pekerjaannya tak hanya mencari harta, tetapi memperbanyak pergaulan dan pertemanan. Motif utama pekerjaannya adalah relasi-sosial, silaturahim, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman relations). 
  
Ketiga, orang yang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai wahana mencari ilmu, menambah pengalaman, dan menguji kemampuan. Jadi, berbeda dengan kedua orang sebelumnya, motif utama kerja orang ketiga ini adalah intelektual.

Lalu, keempat, orang yang bekerja untuk berbagi kenikmatan dan mewariskan kebaikan sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave a legacy). Ia memaknai pekerjaannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Motif utama pekerjaannya adalah rohani (spiritual). Firman Allah, "Dan, aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Al-Dzariyat [51]: 56).

Orang keempat inilah orang terbaik seperti ditunjuk oleh sabda Nabi SAW, "Khair-u al-nas anfa'uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling besar mendatangkan manfaat bagi orang lain)." (HR Thabrani dari Jabir).

Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat itu bisa diberikan melalui ihsan, yakni kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain, baik melalui harta (bi al-mal) maupun kuasa (bi al-jah) yang kita miliki. Warisan kebaikan itu, menurut al-Manawi, bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi, seperti donasi dan bantuan material, atau bisa juga berupa sesuatu yang bernilai agama (ukhrawi), seperti ilmu, pemikiran, dan ajaran yang mencerahkan dan membawa manusia kepada kebaikan.

Malahan, menurut al-Manawi, warisan dalam wujud yang kedua ini dianggap lebih mulia dibanding yang pertama. Mengapa? Sebab, yang kedua ini mendatangkan manfaat lebih besar bagi manusia, tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Wallahu a'lam.

Red: Budi Raharjo
Rep: Oleh Dr. A. Ilyas Ismail, M.A.


My View

Setiap manusia memiliki mimpi untuk diraih. Namun terkadang, keinginan tak sejalan dengan takdir yang sudah Allah gariskan meskipun kita sudah berusaha sekuat tenaga. Ketika itu terjadi, saya yakin iman kita sedang diuji untuk meyakini benar bahwa apa yang Allah berikan tak selalu menjadi apa yang kita inginkan. 
Saya tak usah jauh-jauh mencari contoh, karena diri saya sendiri adalah contoh itu. Sejujurnya hingga detik ini saya masih bertanya pada diri saya sendiri mengenai benar atau tidakkah jalan ini yang saya inginkan dalam hidup, menjadi seorang guru? Akan tetapi, pertanyaan itu tampaknya harus dibunuh. Sudah terlambat untuk meninggalkan semua yang sebenarnya ingin saya tinggalkan.

Andai saja saya masih muda, andai saja usia saya masih 22-23 tahun, saya pasti berusaha lebih keras untuk mengejar apa yang saya inginkan sampai Tuhan berkenan memberikan. Saya tak keberatan meninggalkan status PNS, juga tak akan mengeluh lelah untuk mengejar apa yang saya impikan. Tapi, ketika saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada keluarga yang tidak boleh saya kecewakan, ada beban tanggung jawab yang harus saya pikul dibalik kedewasaan dan kematangan berpikir, saya tahu bahwa saya tak lagi memiliki kesempatan untuk bertindak sesuai ego. Saya tak lagi cukup muda untuk berkata "Saya bisa!" dalam hal ini. Allah sudah membuat saya berada dalam batas dimana saya harus menerima takdir dengan penuh rasa syukur. 

Ketika saya membaca artikel di atas, saya langsung mencari dimana posisi saya sekarang dalam memandang pekerjaan saya. Posisi pertama? Rasanya saya tidak semenyedihkan itu. Uang? Jumlah pasti gaji pokok saya saja seringkali lupa. Saya juga tak pernah meributkan keadilan atau ketidakadilan di antara hegemoni uang. Apa yang mau saya perdebatkan kalau saya sendiri tidak paham? Saya tidak munafik. Sama seperti orang lain, saya juga butuh uang. Tapi, mengukur pekerjaan dari banyak-sedikit gaji yang diterima, rasanya itu bukan saya. Saya sudah membuktikan itu dengan pernah mau menerima pekerjaan sebagai guru SD dengan gaji Rp.100 ribu/bulan untuk kemudian meningkat menjadi Rp.120 ribu/bulan. Saya tidak pernah mengeluhkan itu selain untuk bahan guyonan saja, tidak untuk dijadikan beban pikiran. Rejeki Allah yang mengatur. Tapi berkahnya, kita sendiri yang mencari. Alhamdulillah, saya tak pernah merasa kurang.

Lantas, apakah saya di posisi kedua? Saya orang yang menghargai persahabatan dengan hati. Tapi, entah mengapa  untuk mencari persahabatan dalam pekerjaan tampaknya tidak  membuat saya begitu tertarik. Saya kehilangan banyak kepercayaan. Mungkin ini akibat lingkungan pekerjaan yang pernah saya masuki dulu. Di sana saya belajar bahwa tak ada persahabatan, yang ada hanyalah kepentingan dibalik 'persahabatan' semu. Tak ada orang yang benar-benar tulus ketika seseorang memiliki ambisi yang ingin dikejar. Saling memanfaatkan satu sama lain dengan cara yang manis hingga nantinya orang yang lebih 'bodoh' tak akan merasa terkhianati. Itu sudah cukup mempertegas bahwa saya tidak lagi naif untuk mencari persahabatan dalam pekerjaan juga tak berminat untuk berkecimpung dalam organisasi atau apapun itu. Satu lagi, saya sudah cukup dewasa untuk tidak lagi terlalu menuntut kata terima kasih ataupun maaf meskipun saya berhak untuk itu. Dalam berteman, biar hati saya yang memilih. Dalam mengembangkan profesionalisme, tidak harus berkumpul dalam sebuah organisasi. Setiap orang punya cara tersendiri untuk belajar. Saya yakin, saya orang yang cukup mandiri untuk belajar.

Posisi ketiga? Ya, rasanya saya ada di posisi ini. Bekerja untuk belajar. Belajar banyak hal membuat saya bahagia, membuat saya tenang, membuat saya merasa berkawan. Jika tadi saya berkata saya tak lagi cukup muda untuk mengejar apa yang saya inginkan, maka untuk belajar saya tak akan berkata terlalu muda ataupun terlalu tua. Semoga di tahun 2011 nanti saya bisa mewujudkan keinginan saya untuk kembali belajar. Mudah-mudahan Allah berkenan memudahkan. Tak ada hal khusus yang ingin saya capai dari keinginan saya itu. Saya hanya ingin membuat hari-hari saya menjadi lebih berarti seperti dulu. Empat tahun terakhir berada di kota ini membuat saya merasa mati. Saya mau mencari kehidupan saya lagi.

Bagaimana dengan posisi keempat? Rasanya saya masih terlalu jauh untuk itu. Menjadikan pekerjaan sebagai ibadah hanya bisa dilakukan ketika kita mencintai pekerjaan itu dengan segenap hati. Saya masih menjalani pekerjaan sebatas tanggung jawab profesionalisme, belum sampai menyentuh kalimat ikhlas. Saya masih mengeluhkan banyak hal terkait pekerjaan. Tapi suatu hari nanti saya berharap banyak bisa berada di posisi ini.

Saya hampir di penghujung kalimat...
Berhasil menjadi seseorang dari sesuatu yang kita inginkan itu hebat. Akan tetapi, berhasil menjadi seseorang dari sesuatu yang tidak kita harapkan itu lebih hebat. Ketika takdir memaksa kita menjadi orang yang kedua, akan lebih banyak langkah yang harus ditempuh. Meyakinkan diri, membangun kepercayaan diri, menyemangati jiwa, menumbuhkan dan mengenali kembali ambisi pribadi. Hal terakhir itulah yang saat ini tak saya punya. Ambisi dalam pekerjaan.  

Saya meyakini bahwa ambisi itu penting. Ambisi yang baik membuat hidup lebih hidup tanpa mematikan kehidupan orang lain. Membuat kita mampu bertahan dan berkompetisi. Tanpa ambisi saya akan menjadi orang yang selalu kalah. 

Sedikit berharap, andai saja orang yang paling saya cintai, paling mengenali saya masih ada bersama saya, beliau pasti bisa mengajarkan saya banyak hal untuk membangun ambisi diri, menentukan arah dan langkah, menyusun rencana, dan belajar menerima.  Entah kapan saya akan memiliki ambisi dari platform saya sebagai seorang guru. Ataukah saya memang tak punya ambisi apapun? Saya mengharapkan banyak hal-hal yang baik untuk anak-anak didik saya, tapi rasanya tidak mungkin jika saya tak menginginkan apa-apa dari pekerjaan saya untuk diri saya sendiri. Saya harus mencari tahu. Namun yang terpenting saat ini adalah saya harus bertanggungjawab. Ya, bertanggungjawab. Mengajar, mendidik, menyemangati, mengasihi. Itu sudah baik.

Menjadi guru itu tak buruk
Berbagi ilmu itu utama
Mengantarkan orang lain meraih mimpi, tak semua orang bisa
Dipanggil "Ibu" bukan oleh anak dari rahim sendiri, itu berkah
Menjadi sosok yang digugu dan ditiru tidaklah mudah
 
Lantas, apa yang membuatku berkata tidak?
Mari hati, kita cari ikhlas dalam diri
Hentikan mimpi yang sebatas mimpi
Menjadi dewasa bukan dengan mantra

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Let's Talk...

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x