RSS
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

BALADA ANAKKU DARI SALAMPUNG

-08122010-


Hari ini hujan. Deras.
Hari ini saya pulang cepat. Jam 12.
Hari ini saya belajar. Banyak.
Hari ini saya bertafakur. Tentang hidup.
Hari ini saya menangis. Sulit sekali berhenti.
Di atas sajadah. Dalam Dzuhur.
Saya bersyukur…



Saya datang pagi seperti biasa. Saya mulai dengan mengecek kehadiran siswa. Saya bertanya, “Siapa yang tidak hadir?”

Anak-anak saya menyebutkan nama temannya yang tidak hadir pada hari itu satu persatu, sampai pada akhirnya nama Kulsum disebut. Lalu murid-murid saya berkata, “Tapi Bu, Kulsum tidak masuk karena meninggal kemarin malam.”

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….
Betapa kaget saya mendengar hal itu. Dengan rasa tak percaya saya kemudian bertanya, “Meninggal kenapa?”

Kemudian murid saya menjawab, “Tertimbun tanah longsor Bu, sewaktu hujan kemarin. Kata ibunya, dia sedang ke kamar mandi untuk buang air kecil sambil berwudhu untuk shalat Isya. Saat itulah sebuah pohon tumbang dan menimpa rumahnya.”

Mendengar hal itu, langsung terbayang anak perempuan yang kecil, kurus, sangat pendiam, tampak sulit berteman. Saya ingat persis. Dia selalu duduk di depan, dekat meja guru. Sendirian saja.

Sekali waktu, dia pernah tidak mengerjakan PR. Saya sempat marah. Di lain waktu, saya menyuruh dia membaca, berkali-kali, karena suaranya pelan sekali. Saya jadi kesal. Sungguh Nak, ibu tidak tahu bagaimana perjuanganmu untuk bisa sampai ke sekolah. Tapi hari ini Tuhan membuat ibu tahu di mana rumahmu. Sayangnya, ibu tak bisa memberimu cokelat sebagai permintaan maaf karena ibu telah memarahi gadis kecil yang selalu bangun tergesa jam empat pagi, berangkat dari rumah setelah shalat Shubuh dengan berjalan kaki. Jauh, jauh sekali. Kamu tidak lelah, Nak? Pantas saja badanmu kurus sekali. Ibumu pun pasti kesulitan membagi nasi untuk kesembilan saudaramu yang lain. Maafkan ibu, Nak. Maaf...

Ibu sempat memotret jalan yang harus kamu lalui sembari diboncengi. Itu kah jalan yang harus kamu lalui di gelap pagi, Nak? Kamu lewati ladang, sawah, pabrik bata, pabrik kayu bakar, gunung di depan matamu. Jalannya tak bagus, Nak. Kami kerepotan mengendarai motor. Rasanya lelah, apalagi kamu yang harus berjalan kaki. Rasanya begitu lama untuk sampai. Bisa ibu bayangkan bagaimana kalau hujan. Tahukah Nak, ibu suka sekali hujan. Tapi mungkin kamu tidak terlalu suka.

Setelah begitu jauh, katanya kami sudah sampai. Nyatanya, kami masih harus berjalan kaki. Kami tak berani mengendarai motor sampai di depan rumahmu. Tanjakan dan turunannya curam sekali. Sampai pegal rasanya menahan kaki agar tak terpeleset jatuh ketika berjalan. Pulang nanti, mobil pun katanya harus berjalan mundur. Lihat guru BP-mu, kakinya belepotan ketika berkendara sampai harus mencuci kaki dulu dengan air sawah. Sungguh kamu luar biasa, Nak. Ibu bangga. Kamu tak pernah sekalipun tak masuk di pelajaran ibu. Malaikat pasti tersenyum sembari mencatat setiap langkah kakimu untuk menuntut ilmu dan membalasnya dengan pahala.


Nak, kini kami sudah benar-benar sampai di depan rumahmu. Dalam hati ibu berkata, "Inikah rumahmu yang tertimbun longsor itu? Sungguh ini?" Lalu ibu temui kamu di rumah ini, rumah pamanmu. Kamu sudah rapi dikafani. Kami semua berdo’a untukmu, sampai akhirnya kamu akan disemayamkan. Tunggu, ibu kaget sekali. Kenapa kamu ditandu seperti itu? Hanya dengan dua bilah bambu yang dimasuki dua buah kain sarung? Tak adakah keranda, Nak? Subhanallah…


Nak, kamu mencari teman-temanmu? Tenang saja, Ibu Kepala Sekolah sedang berbaik hati, meliburkan kami semua untuk berbondong-bondong datang ke rumahmu. Lihat, mereka segera datang. Itu, yang berseragam putih-biru, tampak kecil seperti semut beriring ketika ibu foto mereka di atas bukit rumahmu. Akan sedikit terlambat, karena mereka harus berjalan kaki. Kasihan, mereka kelelahan harus pulang pergi seperti itu. Tapi, semua demi teman, untuk sahabat. Keluarga.

Coba dengar... Ketika akan pulang, teman-temanmu merengek minta kami boncengi. Ibu jadi berpikir, apa kamu pernah mengeluh ketika setiap hari kamu harus seperti ini? Ibu baru pertama kali melihat anak sepertimu. Ibu sering melihat anak-anak yang lain naik-turun mobil mewah. Tapi sayang, tak banyak dari mereka yang tahu ada anak-anak seperti kamu. Seribu sehari untuk uang jajan. Jangankan mobil, naik ojeg saja kamu harus berpikir beribu kali dengan ongkosnya yang padahal mungkin sama dengan bekal anak-anak yang lebih mampu dari kamu. Sepuluh ribu saja. Nak, jangan katakan hidup tak adil. Ibu ingin memelukmu seandainya kamu berkata begitu. Tapi, ada hangat tangan Tuhan yang sekarang memelukmu erat.


Allahurabbi, syukur hamba pada-Mu karena Engkau selalu memberi hamba kesempatan untuk melembutkan hati ketika sedikit saja hamba berpaling. Sungguh, hamba tak akan lagi terlalu berbangga dengan apapun yang hamba punya. Mungkin hamba hanya beruntung. Apa yang harus dibanggakan dari keberuntungan? Ternyata, di luar sana masih ada yang sebenarnya jauh lebih berhak dari hamba untuk mendapatkan keberuntungan itu. Orang-orang yang lebih berkeinginan keras, lebih cerdas, lebih amanah, lebih saleh, lebih dekat dengan-Mu, lebih bisa bersyukur.

Anakku Kulsum, ibu belajar banyak darimu. Selamat tinggal, Nak… 

Allah mencintaimu
Allah memanggilmu
Allah menjadikanmu tamu
Insya Allah memuliakanmu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Anonim mengatakan...

meuni indah bu!

Posting Komentar

Let's Talk...

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x